SETIAP tiga bulan saya hadir dalam pertemuan besar para pemimpin redaksi surat kabar grup Jawa Pos sedunia. Karena grup Jawa Pos itu hanya se-Indonesia, maka sedunia itu artinya sama saja dengan se-Indonesia. Dalam pertemuan itu, Dahlan Iskan, selalu menyempatkan ikut hadir, berdiskusi, memberi wawasan tentang tren ekonomi, politik, dan tentu saja menularkan pengalaman dan etos kerja.
Tidak jelas juga, beliau hadir sebagai apa. Sebagi sejak beberapa tahun beliau tidak menjabat apa-apa lagi, dan kalau bisa namanay pun beliau tidak mau dicantumkan di kotak redaksi surat kabar. "Saya tidak usah diberi jabatan apa-apa. Yang penting saya minta satu hal saja, saya masih bisa memecat kalian," katanya, berseloroh, main-main, tapi ini jelas satu ancaman yang tidak main-main.
Dalam satu pertemuan tahun lalu, Pak Dahlan tiba-tiba tampil sangat serius. Ia memulai dengan prolog seakan-akan ingin meyakinkan bahwa beliau sudah sangat sehat. Ia menyebutkan parameter-parameter medical check-up dan angka-angka hasil tesnya. Ia menyimpulkan, "teman-teman, saya sekarang sangat sehat."
Kesehatan memang menjadi perhatian luar biasa penting baginya, sejak ia operasi ganti hati yang bekas operasinya membentang di tubuh bagian depannya seperti lambang Mercy, dan biaya operasinya pun seharga mobil mewah tersebut.
Kami heran dan bertanya-tanya, ada apa tiba-tiba beliau bicara seolah-olah meyakinkan kami bahwa dia sehat? Nah, inilah pembicaraan pokoknya. "Teman-teman, saya sudah dipanggil Pak Presiden SBY dan beliau meminta saya menjadi Dirut PLN," katanya.
Ini permintaan aneh, waktu itu kami anggap begitu. Pengalaman Pak Dahlan mengelola listrik belum banyak. Rasanya waktu itu beliau belum lama berlalu memulai bisnis pembangkit dan tanpa malu-malu beliau mengakui inilah bisnis yang membuat beliau menangis dan menyesali banyak keputusan yang salah. Pokoknya saat itu beliau sangat benci dengan institusi yang bernama PLN.
Apa jawaban Pak Dahlan kepada Pesiden SBY? "Pak Presiden, apa Anda tidak salah menawarkan jabatan ini kepada saya? Kalau salah bisa berbahaya lo, Pak," kata Pak Dahlan mengulang jawaban beliau kepada kami.
Ketika bertemu kami saat itu, Pak Dahlan belum memberi jawaban ke Presiden. "Jadi menurut teman-teman bagaimana? Apa saya terima saja? Kalau saya terima bagaimana sikap koran-koran kita? Saya tahu teman-teman di daerah sangat kritis kepada PLN."
Maka ramailah kami menanggapi, seperti biasa. Bersama beliau, tembok sungkan antara atasan dan bawahan tidak pernah ada. Beliau suka bila siapa saja bebas mengajukan pendapat. Ada yang bilang, Pak Dahlan itu harusnya jadi menteri, bukan kelasnya dirut BUMN. Ada yang bilang, kalau beliau gagal nanti secara grup kita akan menanggung beban, karena begitu parahnya kondisi kelistrikan di negeri ini. Arus besarnya adalah: terima saja. Tak enak menolak tawaran presiden, karena tidak ada alasan yang masuk akal. "Tapi, saya ingin koran-koran kalian tetap mengkritisi PLN, dengan tingkat kekritisan yang jauh lebih tinggi."
Kepada beliau kami juga meminta satu hal: harus tetap menulis. Ini tadinya dilema bagi beliau. Kalau terus-menerus menulis nanti dikira tidak bekerja membereskan kelistrikan. Kalau tidak menulis, beliau membayangkan alangkah tersiksanya dirinya. "Saya ini tidak punya hobi apa-apa, kecuali menulis. Saya tidak main golf. Saya tak suka karaoke. Masak saya tidak boleh menulis, satu-satunya hobi saya," katanya.
Pembicaraan soal kepantasan beliau jadi menteri saat itu beliau jawab dengan satu penjelasan panjang lebar. "Jadi menteri itu tidak ada kerjanya. Semua sudah dikerjakan oleh Dirjen. Saya tidak mau kalau menjabat sesuatu yang tidak membuat saya bekerja. Saya harus banyak pekerjaan," katanya.
Maka, jadilah Pak Dahlan Dirut PLN. Untuk kalangan internal PLN beliau banyak menulis, disebarkan di milis karyawan dengan judul CEO Notes. Sesekali tulisan itu dibocorkan ke kami dan terbitlah di seluruh koran grup Jawa Pos. Sesekali, ketika berkunjung ke daerah beliau menulis persoalan dan solusi yang beliau ambil mengatasi masalah listrik lokal, dan meminta tulisan itu hanya terbit di koran setempat.
Selama menjadi Dirut PLN, Pak Dahlan tetap menyempatkan hadir di pertemuan besar tiga bulanan kami. Beliau tampak semakin sehat. Sangat berbeda bila kami bandingkan dengan keadaan beliau saat pamit berangkat operasi ganti hati di pertemuan di Graha Pena Surabaya. Saya ingat kira-kira kata-kata beliau saat itu begini: “Teman-teman saya ini sakit. Saya bisa mati dalam tiga hari. Atau tiga minggu lagi. Atau tiga bulan lagi,” beliau lalu jelaskan apa sakitnya. Lalu dengan risiko bisa mati kapan saja, beliau meyakinkan kami bahwa risiko gagal operasi ganti hati harus diambil, toh sama saja, tanpa operasi beliau juga menghadapi kemungkinan meninggal dalam waktu yang bisa saja hanya hitungan hari.
Tiga hari sebelum dipanggil ke istana negara untuk menerima tawaran menjadi Menteri Negara BUMN, Pak Dahlan hadir dalam rapat besar Jawa Pos grup di sebuah hotel di kawasan Ancol. Tidak seperti ketika beliau ditawari jadi dirut PLN, kali ini sama sekali tak ada tanda-tanda beliau akan dapat tawaran jadi menteri. Beliau kembali bicara soal surat kabar, dan kondisi bisnis tahun depan, berkaitan dengan proyeksi yang saat itu sedang kami susun.
Tak ada yang dirahasiakan. Karena memang tak ada rahasia. Saat itu beliau memang tidak tahu akan ditawari jadi menteri. Beliau bersama beberapa petinggi grup kami, sedang merancang kunjungan ke beberapa negara Eropa dan puncaknya menghadiri peristiwa penting yaitu melihat Jawa Pos menerima penghargaan sebagai koran terbaik di dunia dari organisasi surat kabar dunia WAN IFRA.
Saya dapat cerita penegas dari Goenawan Mohamad. Saya berbicara dengannya suatu malam di kedai Salihara, setelah Pak Dahlan sudah dilantik jadi menteri. Saya singgah di sana mengira malam itu ada acara dalam rangkaian Utan Kayu Literary Bienale, hajatan dua tahunan yang pada tahun 2009 saya ikuti bersama para penyair dari berbagai negara. Rupanya, malam itu agenda bienale sedang kosong, jadilah kami hanya menggelar obrolan hingga lewat tengah malam. Kami bicara macam-macam, dari soal puisi, Chairil Anwar, penyair yang ia kagumi, hingga Allen Ginsberg, penyair Amerika yang pernah ia temui. Juga soal Dahlan Iskan.
“Dua hari sebelum dipanggil ke istana, dia ketemu saya di sini. Saya sibuk menyiapkan pementasan, jadi saya biarkan saja dia lihat-lihat sendiri. Tapi, lama-lama saya tak enak juga, saya temui dia,” kata Goenawan. Tempo saat itu sedang berduka karena kematian Direktut Keuangan yang handal. Kepada Goenawan, Dahlan Iskan mengajukan diri untuk menggantikan sang direktur. “Wah, saya senang banget, kalau dia yang jadi direktur beres , eh, dia malah jadi menteri,” kata Goenawan dengan nada bicara bangga, seperti kebanggan seorang kawan, atau abang, atau bahkan seperti orang tua yang melihat anaknya berhasil. Saya tentu saja juga ikut bangga.[]
Responses
0 Respones to "[Kolom] Eh, Dia Malah Jadi Menteri!"
Posting Komentar