Kami berkawan sejak saya bekerja di sebuah perusahaan kehutanan di utara Kalimantan, dia sudah lebih dahulu bekerja di situ. Saya staf junior, dia manajer senior, meski kami berbeda bagian. Saya di bagian penelitian dan pengembangan, dia di departemen teknik sipil. Saya masih lajang yang sedang sangat ketat menabung untuk biaya menikah, dia sudah beranak seorang. Perkawanan kami terjalin karena di kota itu kami sama-sama pendatang. Tak ada sanak tak ada saudara.
Kami merasa senasib dan meski tentu saya tak sebanding dengan kekayaan pengalamannya, kami sering menemukan kesamaan. Dia sejak kecil hidup terpisah dari orangtua. “Saya tinggal di rumah nenek,” katanya. Di situ, dia sudah belajar mandiri. Menimba dan memikul air, memelihara sapi, dan pergi sekolah belasan kilometer berjalan kaki. Jejak-jejak kerja keras tampak memancar dari pribadinya. “Kalau saya cerita, istri dan anak saya bisa menangis,” katanya. Tapi, ia mengakui, ada satu perilaku “buruk” yang ia punya sejak kecil: ia suka menyabung ayam.
“Makanya bapak malu dan saya ‘diusir’,” katanya. Dia dikirim untuk sekolah SMA di Lombok, menyeberang ke timur dari Bali. Selama di pulau itu, kecuali jika ada upacara adat di Karangasem, kampungnya di Bali, dia tak pernah pulang. “Kalau libur saya main, sampai ke Timor,” ujarnya.
Tamat SMA dia kembali ke Denpasar dan kuliah di sana dengan biaya yang ia cari sendiri. Tamat kuliah, dengan gelar sarjana ia menaklukkan Jakarta. Ikut banyak proyek membangun gedung-gedung besar (ia menyebut beberapa gedung yang menjadi landmark ibukota - dan lama tidur di pura, di Taman Mini Indonesia Indah. “Saya ini avonturir,” katanya, dengan pengucapan “t” khas lidah orang Bali. Semangat pertualangan itulah yang membawanya sampai ke Kalimantan dan mempertemukan kami.
*
Ada masa-masa ketika krisis menghantam juga perusahaan tempat kami sama-sama bekerja itu. Saya sudah menikah, dan tak melihat ada masa depan lagi di perusahaan itu. Anggaran litbang tak pernah lagi turun. Saya nyaris tak punya sesuatu untuk dikerjakan, dan membantu bagian lain.
Mungkin sayalah orang pertama yang berhenti bekerja di sana. Lagi pula, saya kemudian menyadari bahwa kerja di hutan bukanlah bidang saya. Saya ingin kembali menjadi wartawan. Ketika awal bulan lalu, saya bertemu dia di Denpasar, saya baru tahu, dialah orang terakhir yang bertahan sampai perusahaan itu benar-benar tutup.
“Waktu itu saya merangkap banyak kerjaan. Manajer keuangan, manajer personalia, manajer umum. Semua mengundurkan diri,” katanya. Dia bertahan, dan itu artinya dia harus menghadapi karyawan yang berdemo, kontraktor yang menagih bayaran pekerjaan, dan gugatan soal lahan dari penduduk asli di sekitar hutan. Saya malu, sementara saya lebih dahulu “melarikan diri”, cari selamat sendiri, kawan saya ini justru memilih bertahan dan menyelesaikan satu per satu persoalan perusahaan sampai perusahaan tutup.
*
Di Bali, kampung halamannya, dia sempat mengelola koperasi. Ia besarkan koperasi itu hingga beranggota ribuan orang dan bisa memutar modal ratusan miliar. Koperasi itu – akibat disangkut-sangkutkan dengan kepentingan politik banyak orang besar - “diganggu” dengan alasan melanggar undang-undang perbankan – tuduhan yang tak pernah bisa dibuktikan – koperasi itu digerebek, disita asetnya, dan penanganan kasusnya tak selesai, dan berlarut-larut. Ia mundur.
“Padahal, ini koperasi dapat ISO sebagai bukti manajemen kami baik,” katanya. Ia kecewa dengan banyak hal di negeri ini. Tapi ia tak pernah mau berhenti. Ia tidak menyerah tapi memilih menyingkir dari pusaran masalah. Ia kemudian mendirikan perusahaan properti sendiri, menyewa ruang kantor, dan mengembangkan banyak usaha – dari cucian mobil, toko obat, sampai rencana membuka perkebunan kacang tanah - yang mempekerjakan banyak orang.
“Saya banyak kawan. Banyak yang percaya. Saya jaga kepercayaan orang lain,” katanya. Selama bertamu di kantornya, saya ikut menemani dia bertemu dengan beberapa mitra yang percaya memberikan modal miliaran kepadanya, untuk berbagai usaha.
*
Di Tarakan, kami sering berbincang soal masa depan republik ini. Ini perbincangan orang yang peduli. Televisi sedang gencar menyiarkan kerusuhan demi kerusuhan di Jakarta. Mei 1998. Di televisi kantor, kami sama-sama menonton Suharto saat penguasa 32 tahun itu berpidato, menyatakan berhenti. Kami sadar tak akan bisa berbuat banyak, kecuali apa yang kami bisa lakukan dengan dua tangan kami sendiri. Tapi, setidaknya kami peduli. Setidaknya kami menyadari apa perubahan besar yang sedang terjadi di negeri ini. Perusahaan kami, sejak awal sudah dijangkiti bibit penyakit korupsi, kolusi dan nepotisme. Untuk mendapatkan lahan, si pemodal mendudukan salah satu anak Suharto menjadi komisaris, tentu dengan saham kosong.
*
“Oktober nanti, kami akan ke Tarakan,” katanya. Ia menyebut kota di mana perusahaan kami dulu beroperasi. Di sana, rupanya ia punya “warisan”. Ada penduduk setempat yang menganggapnya sudah seperti anak sendiri. Di Tarakan, yang kami sepakati tak ada ikan bakar dan bakso seenak yang ada di kota itu - setiap pagi si bapak angkat mengantarkan ikan atau udang segar.
Kelak, kawan saya mengongkosi bapak angkatnya itu menunaikan ibadah haji. Dia tak bisa datang melepas si bapak angkat berangkat ke tanah suci. “Di sana mereka kenduri dan berdoa, saya di Bali berdoa juga dengan cara saya di sini. Pokoknya, pergi selamat, pulang selamat. Kan begitu?” katanya.
“Beliau sudah meninggal. Anak-anaknya minta saya datang karena ada wasiat dari Pak Gaek,” katanya menyebut nama orang yang ia bapakkan. Pak Gaek meninggalkan sejumlah sertifikat tanah, dan tanah itu tidak boleh dibagi sebelum kawan saya itu lebih dahulu memilih salah satunya. Toleransi, kawan saya itu tidak sekadar mempercakapkannya. Ia benar-benar mengamalkannya.
*
Di Bali, dia menjadi pemandu wisata saya. Di sela-sela Kongres SPS yang saya hadiri, kami mencuri waktu. Ia mengantar saya ke Sanur, ke cabang Joger di Luwus, dan ke Ubud, kecamatan yang paling terkenal di dunia. Ia tunjukkan di mana tempat pengambilan gambar film “Eat, Pray, Love” yang dibintangi Julia Robert. Kami menelusuri jalan-jalan ke puncak Ubud, dengan sawah-sawah tertata amat rapi di kiri-kanannya. Sepanjang perjalanan saya dapat pelajaran tentang hal lain: betapa ia peduli dengan alam dan budaya.
“Kita sudah tua, apa yang terbaik bisa kita wariskan untuk anak cucu? Alam yang terjaga. Saya sekarang sedang bekerja untuk menyelamatkan mata air. Banyak yang salah dari cara pemerintah di Bali ini mengelola alam, terutama mata air. Padahal itulah sumber utama kehidupan. Kalau mata air rusak, semuanya pasti ikut rusak,” katanya. Setidaknya, setiap minggu, dia akan mendatangi satu mata air. Melihat keadaannya, mendata. Jika ada yang salah di sekitar mata air itu, dia akan bergerak.
Anak lelakinya, yang bercita-cita jadi dokter, adalah penari Bali yang hebat. “Saya belikan satu set gamelan. Saya bahagia karena anak saya yang masih SMA itu mau mendalami budaya tradisional. Saya tak menyuruh dia. Tapi dia sadar, Bali ini kekuatan dan kekayaannya adalah budaya. Kalau tak ada yang meneruskan itu, Bali ini tak ada apa-apanya lagi,” katanya. Kawan saya itu, sebut saja ia: Ketut namanya. []
Label: cerpen, kolom
Responses
0 Respones to "[Kolom] Ketut Namanya, Ia Kawan Saya"
Posting Komentar