Lalu matilah lampu, dan semua jadi bayang-bayang. Cahaya yang lurus itu pasti tidak dari matamu yang sejak semula juga, hanya ragu-ragu. Tak tahu, mana bayangku, mana bayangmu.
Ruang ini, jika tanpa kau dan aku, telah terbiasa dengan sepoi-sepi. Saat tak ada apa-apa, waktu tak singgah, dan ruang ini tak merasa ada yang sia-sia.
Mata yang haus, berlindung dari cahaya yang menipu, di balik kelopak yang memejam tak lengkap pejam, membuka tak sepenuh buka. Jauh melihat ke arah di sebalik kornea.
Kita bukanlah penyabar, tapi kita bisa untuk tidak bergegas. Kita bisa menghindar dari yang mengejar. Menunda yang datang tanpa tanda. Adakah saat yang tepat untuk sesuatu yang tak tepat?
Kalau nanti tak ada kisah kita lagi, waktu yang berperilaku kasar itu, akan menggerus kenangan tentangmu dari ingatanku. Juga aku dari ingatanmu? Bukankah - di hadapan waktu - kau sama saja: juga tak berdaya?
Dan terakhir kuingat dari ruang itu adalah desis nafasmu. Seperti menahan sakit yang kau tahu, tak akan bisa kau menahannya. Aduh, demi siksa itu, seluka-seluka, mengaduhlah. Sepedih-pedihnya. Label: cerpen
Responses
0 Respones to "Mengaduhlah Sepedih-pedihnya"
Posting Komentar