AKU suka melihat kau tertawa. Sebab aku
tahu, di balik angkuh pagar rumahmu, kau
takut melepaskannya sampai ke telinga
Ayahmu. "Karena itu boleh pasti berarti Ayah
akan membuat Ibu menangis," katamu, mengulang
persis kalimat yang kau suruh aku baca di
dalam tulisanmu (tulisan tangan terindah
yang pernah kutahu) di buku hari-harimu.
Itu sebabnya, aku suka membuat kau tertawa.
Karena di rumahmu, bila tak ke mana-mana
seharian kau hanya menyembunyikan diri
di kamarmu (aku yang baru diamuk senyawa
kimia bernama hormon dengan cara yang
luar biasa membayangkan wangi kamarmu
itu dan wangi tubuhmu), atau bila di ruang
keluarga kau akan menutupi wajahmu dengan
majalah Anita Cemerlang. "Pada kisah-kisah
romantis di majalah itu, sesekali aku
bayangkan tokoh utamanya: kau dan aku,"
katamu, padahal kau tahu aku sudah membaca
kalimat itu juga di surat-surat yang kau
selipkan di buku pelajaran (matematika, fisika,
biologi, kimia, apa saja) terbitan Ganeca Exact
Bandung yang kau pinjamkan padaku.
Aku punya banyak cara membuat kamu tertawa.
Aku membuat kau tertawa dengan kisah Srimulat
di TVRI malam hari (aku fasih menirukan Gepeng,
atau Asmuni). Dan kau tertawa hingga berair mata.
Aku tahu, kau tak pernah boleh menonton larut,
padahal, kelompok lawak asal Solo itu hanya
diputar jauh malam setelah Dunia Dalam Berita,
itupun kalau tidak ada Laporan Khusus atau
menteri yang gemar menyiarkan harga-harga dan
apa saja yang tak penting yang dibahas dalam
rapat kabinet hari itu, dan ia selalu memulai pidato
(atau entah apa namanya) dengan kalimat, "menurut
petunjuk Bapak Presiden". Aku kadang suka mengarang
cerita sendiri, meski malam itu, sebenarnya Srimulat
tak disiarkan TVRI.
Aku bahagia, sebab selalu bisa membuat kau tertawa.
Malam itu, Gepeng lucu sekali. Aku senang,
sebab kalau itu kuceritakan padamu, besok pagi,
di jam istirahat sekolah kita, kau akan sangat
bahagia. Tapi, itulah kesempatan terakhirku
melihat kau. Sebuah mobil berlogo perusahaan
minyak asing milik ayahmu menjemputmu tepat
di depan mataku. Aku lihat benih air di matamu.
Aku masih simpan cerita Srimulat pada malam itu.
Dan masih berharap menceritakannya padamu.
Meski mungkin tak lagi bisa membuatmu tertawa. Label: puisi
Responses
0 Respones to "Srimulat"
Posting Komentar