dan rindu yang tak akan pernah cukup
Menyusurkan kaki pada malam jalanan, Tunku Abdul Rahman
Kita nanti akan duduk bersandar, atau berbaring
menghamparkan kegalauan sendiri
dan menyaksikan kegalauan mereka lain
di dataran merdeka yang pernah tak sempat diri kita singgahkan
Ada jejantas, dengan pot dan bunga,
yang begitu sabar merambat
Ada kedai karpet, kios baju kurung,
konter bros penyemat kerudung
Ada restoran ayam goreng yang
sudah membalikkan susunan kursi
Dan kau berkata, "ah, kita akan makan sahur
dengan nasi lemak lagi…"
*
Misalkan kita adalah penduduk kota ini,
kita tak akan sedemikian terperinci memindaikan perasaan
Maka, Sayang,
ada baiknya kita hanya datang selintasan sebagai turis
dengan pelancongan yang tak terlalu terencana
Pada seorang Tuan Rumah, yang di sini sama saja asingnya
kita mula-mula akan bilang, "kami datang,
kami datang,
wahai kami telah datang!"
Lalu kita akan bikin janji pertemuan,
dengan peta (ya, di ujung jalan itu Seven Eleven,
lalu berbelok, sebelum Starbucks,
ke kanan)
yang mungkin akan menyesatkan Sang Juru Peta
sebab di sini memang tak ada Kabah,
cuma toko penjual kopiah,
dan azan masjid keling tanda buka puasa
*
Kota ini, seperti kita, tak lagi cukup disebut dalam pantun yang tertib.
Label: puisi
Responses
0 Respones to "Viatór"
Posting Komentar