Catatan untuk Hari Puisi Dunia 2012
SEBAGAI pencinta puisi, saya selalu dapat kejutan dari ingatan saya sendiri. Kejutan itu datang setiap tanggal 21 Maret. Itu adalah tanggal yang sejak 1999 ditetapkan Organisasi PBB untuk Pendidikan, Ilmu Pengetahuan dan Kebudayaan (UNESCO) sebagai Hari Puisi Dunia.
UNESCO berharap, pada hari itu, dunia mengingat kembali peran puisi yang menyumbangkan keberagaman kreatif, dengan mempertanyakan lagi faedah kata dan segala hal-ihwal bagi kita, juga menggugat model-model persepsi dan pemahaman kita kepada dunia!
Mohon baca sekali lagi kalimat terakhir pada paragraf di atas. Tanda seru itu dari saya. Saya menerjemahkannya dengan seindah-indahnya dari apa yang dipaparkan UNESCO di laman web mereka. Ketika menuliskan itu saya membacanya berulang kali. Sedemikian itulah pentingnya peran puisi di mata para petinggi UNESCO kala itu. Jadi jangan heran kalau saya yang kadang berani juga menyebut diri sebagai penyair ini jadi besar kepala. Ini penting. Maksud saya, besar kepala itu penting bagi seorang penyair, sebab menulis puisi bukanlah soal yang praktis di zaman yang menuntut segalanya serba praktis ini. Penulis puisi nyaris tak dapat imbalan berharga yang serta-merta diterima selepas ia menuliskan puisi terbaiknya.
Peran puisi di mata UNESCO relevan dengan apa yang dinyatakan oleh penyair Rida K Liamsi yang saya dengar kemarin. Katanya, apa yang dengan mudah menautkan kita yang hidup sekarang dengan abad 19 di masa-masa ketika Kerajaan Melayu Riau masih berdiri di Penyengat dahulu? Apa yang dengan amat dahsyat mengaitkan keunggulan kebudayaan Melayu dengan pusat-pusat kebudayaan dunia dulu dan sekarang? Sastra. Karya-karya Raja Ali Haji. Surat-suratnya dengan sahabat-sahabat asingnya. Atau kalau mau disebut dengan lebih khusus lagi, itu adalah sehimpun puisi bernama Gurindam Duabelas.
Menulis puisi adalah kerja yang dengan mudah bisa ditinggalkan. Itu sebabnya penyair adalah makhluk yang sangat minoritas. Padahal dengan peran pentingnya seperti yang disadari oleh UNESCO, menulis puisi bukanlah kerja yang sia-sia. Sejarah peradaban dunia ini telah menyenaraikan banyak bukti untuk membenarkan hal itu.
*
Apa yang harus dilakukan para Hari Puisi Dunia itu? Galakkanlah pembacaan, penulisan, dan penerbitan, serta pengajaran puisi di seluruh dunia. Atau dalam bahasa resmi UNESCO: berikanlah perkenalan dan dorongan yang segar bagi gerakan-gerakan puisi di tingkat mana saja, di level nasional, regional, maupun internasional. (Baiklah, UNESCO, saya mengikuti saran itu dengan menulis kolom ini saja. Cukup?)
"Di dunia yang terus-menerus berkembang, dunia dengan perubahan dan transformasi sosial yang cepat, para penyair punya tempat bersisian dengan gerakan masyarakat. Dan para penyair itu tahu bagaimana memberi peringatan tanda bahaya dari hati nurani kepada dunia yang tidak adil - seperti peran mereka yang baik dalam membuka mata untuk menghargai keindahannya," kata Direktur Jenderal UNESCO Irina Bokova.
Perempuan Bulgaria, 59 tahun itu, juga melihat potensi di teknologi pesan pendek dan penyebarannya di jaringan sosial, yang terbukti memberi nafas segar bagi kehidupan puisi, yang menyeronokkan kreativitas dan menyebarkan puisi dan syair. Hal itu, katanya, bisa membantu kita terlibat lebih penuh dengan dunia ini.
Aha, saya ingat sebuah akun Twitter termoderasi bernama @sajak_cinta. Para pengiringnya - jumlahnya lebih dari 77 ribu - kemarin juga ikut merayakan Hari Puisi Dunia dengan menggubah sajak yang dipersembahkan pada nama atau sosok besar. Maka sepanjang siang kemarin, bermunculanlah sajak-sajak yang merujuk pada Siti Jenar, Hemingway, Tagore, Armstrong, Rendra, Norah Jones, Pram, Afrizal, Du Fu, Rumi, Neruda, Basho, sampai Chairil. Keterbatasan karakter ternyata membuka kemungkinan kreatif yang tak berbatasan. Begitulah, puisi dirayakan, diberi perhatian, di tengah hidup yang amat sibuk ini.
*
Puisi adalah tawaran untuk berdialog. Puisi adalah ajakan untuk menyadari keberagaman. Di dunia yang dibangun dengan keberadan banyak hal ihwal yang beragam ini, dialog itu sangat penting. UNESCO meyakini, bahwa bahasa puisi dengan keluwesan asosiasinya, kekayaan metaforanya, dan tata bahasa yang hendak dibikin baru oleh penyair, adalah wajah lain untuk berdialog antar-kebudayaan.
Puisi memperkaya kemungkinan dialog itu. Puisi adalah aliran mahabebas bagi gagasan-gagasan melalui kata. Puisi adalah tantangan dan kemungkinan kreativitas yang tak berbatas. Puisi adalah inovasi yang tiada henti. Hari Puisi Dunia, sebagaimana disebutkan UNESCO, adalah undangan untuk berefleksi dalam kekuatan bahasa dan pengembangan sepenuhnya pada kesanggupan kreatif setiap manusia.
Sehebat itu? Ah, saya curiga, jangan-jangan para petinggu UNESCO itu adalah penyair? Jika tidak, mereka adalah orang yang amat menghargai puisi. Bukan sekadar membuat besar kepala para pecinta puisi seperti saya ini.
*
Adalah sebuah kebetulan belaka, Hari Puisi Dunia itu berimpit selang sehari dengan hari lahir Sapardi Djoko Damono, penyair besar kita yang banyak memberi inspirasi dan menjadi model dan modal beranjak bagi banyak penyair di negeri ini. Saya adalah salah satunya.
Buku puisi pertama yang saya beli adalah DukaMu Abadi, buku kumpulan puisi pertama Sapardi. Ini pertemuan yang tak terlupakan dan bikin saya jatuh cinta pada puisi, pada puisi Sapardi, dan juga pada sosok Sapardi itu sendiri. Saat itu saya masih kelas 1 SMA. Saya tidak mengerti, tapi saya terus-menerus digoda oleh puisi-puisi itu untuk membaca dan memaknainya. Dalam setiap kali pembacaan, kerap kali saya gagal. Atau melihat sesuatu yang samar di balik bait-bait yang terbentang bak labirin, meski dibentuk dengan pilihan kata-kata yang tak asing bagi saya kala itu. Tiap kali saya rasa inginmenyerah, maka saat itu juga puisi Sapardi di buku meningkatkan kadar rayuannya. Ah, puisi yang baik mungkin memang demikian, ia tak henti-hentinya menantang kita untuk memaknainya.
Saya beruntung kelak, sekian tahun kemudian, saya duduk di meja pembicara, dengan Sapardi di depan saya, dan kala itu saya menjadi salah satu dari dua pembahas puisi-puisinya. Sapardi membela hasil bacaan saya atas puisi-puisinya, ketika ada peserta diskusi yang menggugat pendapat saya. Malam itu, saya pun memenuhi undangan beliau untuk menginap di rumahnya yang penuh buku sastra.
"Selamat ulang tahun, Penyair. I love you full," kata saya lewat pesan pendek kepada Sapardi, tanggal 20 Maret kemarin. Tahun ini, penyair yang panjang umur, dan panjang pula nafas kreativitasnya itu berumur 72 tahun. Sapardi sampai hari ini masih menulis puisi. Sapardi - tak lama kemudian - membalas pesan pendek saya: "Terima kasih. I love you big!" Saya ingin menggunakan kalimat itu kepada Puisi.[]
Responses
0 Respones to "[Kolom] I Love You Big!"
Posting Komentar