[Kolom] Terima Kasih, Ayam





AYAM-AYAM itu memilih lebih baik mati, daripada harus terbang meningalkan anak-anaknya ~ Ulisse Aldrovandi (1522 – 1605)

WAKTU kanak-kanak di kampung dulu, anak ayam yang lucu itu adalah juga menjadi mainan kami. Bukan. Kami tidak mempermainkan anak-anak ayam, tapi memelihara ayam adalah bagian dari kegembiraan.  Menyentuh bulunya yang lembut, mendengar ciapnya yang membuat kasihan, membiarkan ayam-ayam kecil itu menaiki punggung bahkan kepala adalah kegembiraan yang tak terbanding. Kadang kami ikut memperhatikan dan membantu memecahkan cangkang yang sudah retak dipatuk anak ayam dari dalam. Ini adalah praktek langsung pelajaran Biologi.


Memelihara ayam, bagi setiap warga kampung kami yang sebagian besar adalah petani kelapa, adalah kegiatan sampingan yang terpenting untuk menambah penghasilan. 

Dan ayam-ayam kampung adalah unggas yang tahan banting, mudah dan murah dipelihara. Mereka tak perlu dikandangkan. Cukup dibuatkan para-para di belakangan rumah, biasanya menempel pada ujung atam dapur, dengan demikian mereka ternaung dari hujan. Atau, kadang-kadang mereka memilih tempat bertengger untuk tidur pada malam hari di cabang-cabang pohon turi, atau pohon nangka belanda. 

Peternak yang lebih serius membuatkan kandang besar, dan di sanalah segala kegiatan beternak ayam diselenggarakan, termasuk saat-saat penting yaitu ketika seekor induk mengerami telur-telurnya. Saya ingat, telur-telur ayam akan menetas pada hari ke-21 sejak mulai dierami. 

Ayam betina biasanya mulai belajar bertelur pada usia enam bulan. Jika masih belajar bertelur, kami akan ambil telurnya untuk dijual atau untuk kami santap santap sendiri. Telur dari betina yang sudah dewasa akan dieramkan untuk menambah populasi ternak kami. Seekor ayam biasanya mulai mengerami setelah terkumpul 12-15 butir telur. Saya tak tahu bagaimana mereka menghitung. Tapi, lebih dari jumlah itu, memang tak semua telur bisa dihangatkan dengan bulu-bulunya. 

Makanannya? Sekali sehari ayam kami beri padi. Saat-saat memberi makan ayam, adalah saat-saat penting. Ketika padi dihamburkan berkumpullah mereka, yang seperti tahu jadwalnya, mereka tak akan beranjak jauh sebelum jam sarapan itu berlalu. Pada saat itu pula, kami menghitung berapa aset peternakan kami, berapa ayam yang masih kanak, berapa yang sudah dara dan mulai bertelur. Setelah sarapan ayam-ayam bebas merdeka kelayapan ke mana-mana, mencari makanan apa saja. Nanti di sore hari, sebelum mereka masuk kandang, kami akan memberi makanan lain yaitu cincangan kelapa. 

Kami kenal ayam-ayam kami. Mereka pun kenal siapa tuan mereka. Ada penelitian yang menyebutkan bahwa seekor ayam mampu mengenali satu per satu kira-kira 80 ekor rekan satu populasinya. Ini berkat kemampuan mereka membedakan warna persis seperti warna-warna yang dikenal manusia. 

Ayam, juga punya variasi suara yang kaya. Selain berkokok pada waktu pagi hari – ini jasa terbesar ayam selain dagingnya tentu saja, ayam punya suara kotek-kotek yang khas setelah bertelur. Ayam juga punya suara saat memanggil anak-anaknya jika si induk menemukan makanan, berteriak nyaring ketika terkejut atau ketakutan, bersuara seperti gumam saat terpisah dari kumpulannya, mengusir ayam dari kelompok lain, atau merayu pasangannya. Konon, ada puluhan variasi suara ayam, dengan apa mereka saling berinteraksi. 

Saya ingat satu suara ayam yang sangat khas: biasanya suara itu terdengar saat seekor ayam sedang sendiri. dan di sekitarnya sepi. Ia akan berjalan lambat, menoleh kanan kiri. Berhenti. Lalu bersuara pelan , sekali panjang pada kukukan pertama, lalu diulang cepat berkali-kali. Saya kira itu adalah ekspresi ayam yang sedang galau.  

Ayam diyakini secara ilmiah berasal dari kaki bukit pegunungan Himalaya di India, juga dari hutan tropos di Asia Tenggara. Di daerah asal itu, termasuk di hutan-hutan di Indonesia, kita masih  menemukan ayam hutan. Saya ingat, jika berburu rusa ke hutan, kadang-kadang para pemburu di kampung kami pulang juga membawa ayam hutan. Warna bulunya biasanya gelap, dan posturnya lebih kecil dari ayam kampung.

*
Saya ingat, saya hanya akan diberi telur rebus oleh ibu saya, jika saya sedang sakit - saya menyantapnya dengan guyuran kecap asin. Sebab bagi kami sebagian besar, jika tidak semuanya, telur-telur hasil ternak ayam kami adalah sumber penghasilan penting, sebelum kebun kelapa sepenuhnya berbuah. 

Ada kegembiraan lain bagi anak lelaki kampung yang beranjak besar, yaitu mengadu ayam. Karena itu, ayam jantan punya nilai lebih. Ayam jantan memang terlihat gagah. Pialnya merah cerah, dan kami biasanya sangat cermat memperhatikan pertumbuhan taji di kakinya. Taji adalah organ unik bagi seekor ayam. Tumbuh meruncing seakan seperti tulang liar mencuat ke belakang. Dalam kontes adu ayam, taji adalah senjata pembunuh! Saya suka menonton adu ayam, tapi saya tak pernah membiarkan ayam-ayam jantan saya diadu.  

*

IBU saya punya satu dongeng tentang ayam. Dongeng tentang betapa sayangnya seekor induk ayam kepada anak-anaknya, sehingga merelakan nyawanya bertarung dengan elang. Si induk luka parah kena patukan dan cakar elang, sampai akhirnya mati. Si elang membawa anak ayam, dan tinggallah beberapa ekor anak ayam yang tak lagi berinduk. 

Dongeng itu terasa hidup, karena beberapa kali kami menyaksikan sendiri ketika ada seekor elang menyambar ayam kami. Ibu biasanya menidurkan kami di ayunan dengan lirik dongeng itu. Sekarang, seperti dulu, mengingat nyanyian ibu, terasa sedih dan sendu.  Berangkat dari ingatan tentang dongeng ibu, saya menemukan kalimat dari seorang naturals, atau ahli ilmu alam dari Italia Ulisse Aldrovandi yang saya kutip di awal kolom ini, yang mengatakan, “Ayam-ayam memilih lebih baik mati, daripada harus terbang meningalkan anak-anaknya.”  

*

Ayam diyakini secara ilmiah berasal dari kaki bukit pegunungan Himalaya di India, juga dari hutan tropis di Asia Tenggara. Di daerah asal itu, termasuk di hutan-hutan di Indonesia, kita masih  menemukan ayam hutan. Saya ingat di kampung saya dulu, pulang dari berburu rusa, kadang-kadang pemburu juga membawa ayam hutan yang terjerat. Warnanya variasi antara hitam dan merah gelap dan biasanya lebih kecil dari ayam kampung. 

Berkat persilangan, ayam yang dulu nenek moyannya hanya bertelur rata-rata 10-15 butir setahun, kini ras paling unggul bisa bertelur lebih dari 300 butir setahun. Dengan kemampuan memproduksi telur sebesar itu, jauh lebih besar dari yang sanggup mereka erami, ayam adalah sumber pokok mencukupi kebutuhan gizi manusia. Dengan gizi yang cukup, perkembangan otak manusia dari waktu ke waktu semakin baik, dan manusia pun semakin cerdas. 

Ayam, adalah hewan penuh kasih, ramah. Dari jenis unggas, jangan-jangan merekalah makhluk yang paling berjasa pada peradaban manusia. Perilaku ayam mencerminkan satu hal: kasih-sayang, keberanian untuk membela anak-anaknya, dan kesetiakawanan sebagai satu kelompok sosial. 

Dengan jasa-jasa ayam kepada manusia dan peradaban manusia, juga mengenang perilaku manis unggan bernama ayam itulah yang jadi dasar berpikir United Poultry Concern (UPC), yang berpusat di Machipongo, negara bagian Virginia, Amerika sejak tahun 2005, menggagas apa yang mereka namakan Internasional Res[ect for Chickens Day. Hari itu dirayakan tiap tanggal 4 Mei. UPC adalah organisasi nirlaba yang berdiri sejak tahun 1990. Penggagasnya Karen Davis, PhD. 

Dengan pengalaman hidup bersama ayam di kampung dulu saya mudah mengerti gerakan moral Ibu Doktor Karen. Agenda UPC adalah mengajak dunia agar memperlakukan ayam dengan lebih respek, memperlakukan dengan hormat untuk tujuan apapun, konsumsi rumah tangga, industri pangan, ilmu pengetahuan, pendidikan, atau hiburan.  

Karen tentu tidak mengajak orang berhenti menyantap ayam. Perlakuan-pelakuan ‘sadis’ kepada  ayam, itulah yang dilawan oleh Karen dan UPC. Misalnya, ada praktek melaparkan ayam dalam jangka waktu tertentu agar bertelur banyak. Ini banyak dilakukan di peternakan besar.  Ia juga mengecam salah satu ritual pada salah satu  kelompok masyarakat yang melibatkan prosesi pembantaian ayam.

Jadi, tanggal 4 Mei nanti, seraya menyantap sepotong ayam goreng di restoran ayam goreng manapun, jangan lupa gumamkan dalam hati Anda: Terima kasih, Ayam![] 



Responses

0 Respones to "[Kolom] Terima Kasih, Ayam"

Posting Komentar

 
Return to top of page Copyright © 2010 | 2012 - Lost Saga Template Copyright 2010-2012 MasihTertulis